Mengenal Sistem Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia
Mengenal Sistem Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia - Finlandia merupakan bagian dari Eropa yang merupakan wilayah dari kerajaan Swedia, Finlandia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1917 dan sejak tahun 1955 telah bergabung dengan organisasi PBB.
Bentuk pemerintahan Finlandia adalah republik yang didasarkan pada konstitusi. Presiden sebagai kepala negara yang dipilih oleh rakyat. Presiden memegang kekuasaan eksekutif beserta kabinet atau Dewan Negara.
Kekuasaan legislatif terletak di parlemen dan konsep pemilihan presiden diadakan setiap empat tahun sekali.
Finlandia menganut sistem multipartai yang menjunjung tinggi kebebasan bermasyarakat, kebebasan press, berpolitik, dan termasuk negara yang memilki tingkat pelanggaran korupsi sangat rendah karena terdapat nilai-nilai kejujuran yang terus ditanamkan kepada seluruh warga negara.
Finlandia termasuk negara yang memiliki integritas tinggi yang dicerminkan dari budaya malu, sehingga dijadikan sebagai kunci menciptakan negara yang bersih.
Perkembangan di tahun 1930-an Finlandia telah menjadi negara kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi yang pesat di mulai pada tahun 1960-an. Hal ini tidak lain karena dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk dibidang pendidikan.
Finlandia menerapkan pendidikan untuk anak usia 7 hingga 16 tahun yang bersifat wajib, setelah lulus sekolah menengah pertama peserta didik bisa langsung bekerja atau mendaftar ke sekolah menengah atas/kejuruan begitu seterusnya hingga melanjutkan ke pendidikan tinggi/ perguruan tinggi.
Dalam Strategi 2015 Kementrian Pendidikan yang dibuat tahun 2003,poin pertama dalam area kunci strategis yang hendak dicapai oleh pemerintah adalah “mengamankan kesetaraan pendidikan dan budaya” (Putra, 2015: 1404).
Sistem pendidikan di Finlandia memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Tujuan utama dari kebijakan pendidikan di Finlandia adalah semua warga negara mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan tanpa memperhitungkan usia, tempat tinggal, situasi keuangan, atau jenis kelamin. Pendidikan dianggap sebagai salah satu hak-hak dasar semua warga negara di Finlandia.
Proses pengambilan keputusan yang demokratis terjadi awal tahun 1980 pemerintahan Finlandia mengisyaratkan bahwa terjadinya perubahan menjadi negara kesejahteraan.
Perubahan pemikiran ekonomi global bersiap menuju ke garis keras neoliberalisme yang memiliki dampak di Finlandia. Akibatnya, pegangan bank sentral nasional digunakan untuk lebih dari bisnis.
Dekade terakhir terjadi krisis dalam pemikiran sosial di awal tahun 1990-an disertai dengan resesi ekonomi yang parah pada tahun 1992 dan pada tahun 1996 pemerintah Finlandia mengalami ancaman pengangguran yang tidak hanya dialami oleh pekerja industri, tetapi juga dirasakan oleh kelas menengah dan karyawan administrasi.
Perkembangan demokrasi Finlandia berlangsung pada tahun 1995 ketika Finlandia bergabung dengan Uni Eropa. Meskipun sebagian besar kekuasaan legislatif tetap di parlemen.
Tantangan demokrasi Finlandia pada pertengahan 1990-an bersinggungan dengan isuisu kesetaraan sosial. Perkembangan terakhir sistem sekolah Finlandia dengan relevansi Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan pada analisis sistematis kurikulum dan buku teks IPS.
Kurikulum sekolah di Finlandia secara garis besar pemerintah hanya membuat panduan umum berupa target (goals) dan guru diberi kebebasan bagaimana caranya untuk mencapai target tersebut serta bebas memakai metode mengajar maupun buku teks apa pun.
Selain itu, guru di Finlandia menekankan pentingnya waktu bermain yang dipercaya dapat meningkatkan performa akademik siswa, serta membantu perkembangan kognitif, afektif, dan sosial. Misalnya, alokasi waktu dalam 1 jam pelajaran dibagi 45 menit dialokasikan untuk belajar dan 15 menit untuk bermain bebas sesuai kehendak siswa.
Oleh karena itu, waktu istirahat sangat banyak di sekolahsekolah Finlandia bahkan hingga sekolah lanjutan. Metode pembelajaran yang digunakan guru saat pembelajaran yaitu metode ceramah, selebihnya digunakan untuk kegiatan siswa, seperti mengamati, diskusi kelompok, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan paparan di atas, bila dikomparasikan dengan teori David Kerr (1999: 13) tentang Citizenship Education secara kontinum dibedakan menjadi dua yaitu minimal dan maksimal, dimana pada titik tersebut terdapat kategori mengenai pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan secara kontinum berada pada titik minimal ialah sebagai berikut.
Minimal interpretations are characterised by a narrow definition of citizenship. They seek to promote particular exclusive and elitist interests, such as the granting of citizenship to certain groups in society but not all. Minimal interpretations lead to narrow, formal approaches to citi-zenship education what has been termed civics education. This is largely contentled and knowledge-based.
Kerr menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada titik minimal ialah ditandai dengan definisi bahwa Pendidikan Kewarganegaraan secara sempit berusaha untuk mempromosikan kepentingan eksklusif dan elit tertentu, seperti pemberian kewarganegaraan kepada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat akan hal ini tetapi tidak semua.
Oleh karena itu, tujuan utama dari Pendidikan Kewarganegaraan berada pada titik minimal adalah untuk menginformasikan melalui penyediaan dan transmisi informasi. Pendektan secara minimal ini dapat menyebabkan mempersempit pendekatan formal untuk Pendidikan Kewarganegaraan apa yang telah disebut Pendidikan Kewarganegaraan.
Melalui pendekatan minimal menitik beratkan pada dasar pengetahuan dan pemahaman dari hasil yang telah dicapai.
Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan secara kontinum yang berada pada titik maksimal yaitu:
Maximal interpretations are characterised by a broad definition of citizenship. They seek to actively include and involve all groups and interests in society. Maximal interpretations lead to a broad mixture of formal and informal approaches to what has been termed citizenship education, as opposed to narrower civics education. This citizenship education includes the content and knowledge components of minimal interpretations, but actively encourages investigation and interpretation of the many different ways in which these components (including the rights and responsibilities of citizens) are determined and carried out.
Berdasarkan definisi di atas dapat dijelaskan Pendidikan Kewarganegaraan pada titik maksimal ditandai dengan definisi kewarganegaraan yang luas yang ditandai dengan adanya usaha secara aktif untuk melibatkan semua kelompok dan kepentingan dalam masyarakat.
Pendekatan secara maksimal ini menyebabkan campuran luas pendekatan formal dan informal yang disebut Pendidikan Kewarganegaraan, artinya sebagai lawan Pendidikan Kewarganegaraan sempit. Pendidikan Kewarganegaraan ini termasuk konten dan pengetahuan komponen interpretasi minimal, tetapi secara aktif mendorong investigasi dan interpretasi dari berbagai cara yang berbeda-beda termasuk masalah tentang hak dan tanggung jawab warga negara.
Tujuan dalam pendekatan ini adalah membantu siswa memahami dan meningkatkan kapasitas berpartisipasi dengan berbagai informasi yang didapatkan.
Oleh karena itu, peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran, dengan demikian peserta didik dapat menjadi warga negara yang aktif.
Berdasarkan paparan di atas sangat menarik apabila dibahas lebih lanjut mengenai sistem pendidikan dan Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia yang termasuk dalam titik maksimal sesuai dengan teori di atas, dengan alasan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan Finlandia memuat bagaimana menumbuhkan warga negara ikut berpartisipasi melalui pendidikan demokrasi di sekolah, mengkaji identitas nasional sebagai warga negara Finlandia, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan mengkaji isu-isu sosial.
Sistem pendidikan utama di Finlandia adalah bukanlah untuk menghasilkan individu yang cerdas (akademis), tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial.
Prinsip kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah Finlandia ialah Non-discrimination and equal treatment yang berarti tidak ada diskriminasi dan mendapat perlakuan yang sama.
Kurikulum yang diterapkan di sekolah Finlandia sangat fleksibel tidak terikat dengan kurikulum pendidikan yang seragam, artinya setiap sekolah dapat mengembangkan kajian materimateri yang diberikan oleh siswa dan silabus kurikulum mulai SD, SMP atau SMA lansung diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Finlandia.
Kementerian Pendidikan meluncurkan “Kurikulum Dasar” yang fleksibel semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas.
Kurikulum dasar ini berlaku di setiap sekolah Finlandia dengan mengembangkan kurikulum sendiri yang menekankan pada aspek pedagogi, misalnya mengkaji isu-isu lokal.
Model Pendidikan Kewarganegaraan Di Finlandia
Pada awal tahun 1970-an sistem sekolah di Finlandia menggunakan model paralel dan saat ini telah diganti dengan sekolah yang bersifat komprehensif. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dari kelompok usia 7 sampai usia 16 tahun, meskipun dalam prakteknya terjadi banyak kendala.
Dalam mengatasi masalah tersebut diklasifikasikan dari tahap yang lebih rendah, yaitu kelas 1 sampai 6 dan tahap atas kelas 7 sampai 9. Sistem sekolah di Finlandia mengalami perubahan dalam skala besar, hal ini ditunjukkan perubahan kurikulum sekolah menengah atas yang direformasi pada awal tahun 1990-an dengan sistem administrasi di desentralisasi, artinya sekolah-sekolah di kota mendapat wewenang lebih mengenai isu-isu pendidikan.
Perubahan ini dapat dilihat sebagai dari tren desentralisasi serta tanggung jawab untuk merencanakan kurikuler di tingkat lokal. Badan Nasional Pendidikan (1994) dikutip Ahonen dan Virta (1999: 232), telah menerbitkan kerangka kerja kurikulum secara komprehensif untuk sekolah menengah atas.
Oleh karena itu, kurikulum yang diterapkan saat ini menjadi jauh lebih fleksibel dan individual dengan harapan siswa dapat melanjutkan studi dengan langkah yang lebih luas. Selain itu, lintaskurikuler Pendidikan Kewarganegaraan tersebar disetiap silabus dari beberapa mata pelajaran.
Menurut Taiwan Yolanda Chen dikutip oleh Yi-Shan Chen (2011), Pendidikan Kewarganegaraan Finlandia dimulai pada sekolah dasar dan terus selama 12 tahun, dengan siswa diminta untuk memilih kelas setiap tahun antara kelas etika atau kelas agama.
Siswa hanya mulai mengambil program IPS saat memasuki SMP. Awal tahun pertama kelas sepuluh (X) mereka diminta untuk mengambil kursus tambahan untuk membentuk warga negara Finlandia melalui prinsip pendidikan yang digunakan.
Kurikulum sekolah yang komprehensif tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan juga pada aspek keterampilan sosial, kepekaan estetis, observasi, dan etika. Sebagai masyarakat yang demokratis unsur yang paling signifikan adalah keterampilan sosial dan persepsi siswa sebagai penyelenggara aktif struktur pengetahuan dan konsepsi dunia.
Secara garis besar pedoman kurikulum 1994 tidak lagi menentukan topik secara rinci yang harus ditangani dalam berbagai mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada studi masyarakat Finlandia harus melihat dari sudut pandang fungsional. Artinya, ilmu pengetahuan sosial dikombinasikan dengan sejarah dalam silabus yang sama termasuk Pendidikan Kewarganegaraan dan identitas nasional. Adapun kerangka kurikulum Tahun 1994 sekolah yang komprehensif dikutip Ahonen dan Virta (1999: 233), mendefinisikan bahwa tujuan utama dari sejarah dan studi ilmu sosial yaitu:
- Mendapatkan informasi dan pengalaman yang didapat berkenaan dengan memperjelas gambar tentang dirinya sendiri;
- Menjadi akrab dengan tanah airnya dan sejarah tradisi budaya, sehingga identitas nasional diperkuat;
- Menjadi akrab dengan peristiwa penting dan periode dalam sejarah dunia, terutama dengan daerah tetangga (Eropa);
- Mendapatkan informasi dan keterampilan yang dibutuhkan dalam masyarakat dan dapat menangani masalah-masalah saat ini.
Referensi khusus untuk studi sosial, Kerangka Kurikulum pada titik awal yaitu siswa dapat:
- Mengadopsi nilai-nilai sosial seperti tanggung jawab sosial, saling menghormati, hak asasi manusia (HAM), saling pengertian, dan keinginan untuk perdamaian internasional;
- Memahami isu-isu bersejarah dan sosial serta memahami fenomena sosial secara umum;
- Memahami sebagai warga negara dan dapat menggunakan pengaruhnya ketika keputusan sosial dibuat;
- Siap untuk terus menganalisis informasi dan siap untuk berpikir kritis atas dasar kemampuannya.
Menurut Yi-Shan Chen (2011), Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan Finlandia berpusat pada etika dan kelas-kelas agama, berbeda dengan pendekatan yang disukai negara Amerika Serikat dan negara Asia lainnya yang menekankan patriotisme.
Finlandia percaya bahwa pendidikan harus dimulai dengan mengajarkan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia dan saling menghormati satu sama lain, bukan doktrin absolut karena doktrin dapat berubah dari waktu ke waktu.
Sedangkan pendekatan melalui pelajaran agama yaitu terkait dengan isu-isu moral, dimana tujuan pengajaran agama adalah untuk mengembangkan siswa rasa tanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan yang dilakukan serta untuk membuat keputusan pribadi atas dasar nilai-nilai.
Tema pendidikan lintas-kurikuler atau masalah kurikuler memiliki arti penting bagi kewarganegaraan. Melalui tema tersebut sekolah dapat mendekati fenomena saat ini dan membuat kurikulum lebih fleksibel, akan tetapi terdapat masalah-masalah tentang kurikuler yang meliputi:
- Internasional pendidikan (khususnya kesetaraan, pemahaman, dan sikap terhadap perbedaan, hak asasi manusia dan etika);
- Pendidikan konsumen (kemampuan untuk bertindak sebagai konsumen yang terinformasi dengan baik dan bijaksana);
- Pendidikan komunikasi (tumbuh kesadaran sosial, kemampuan analisis, berpikir kritis, komunikasi, dan interaksi);
- Pendidikan lingkungan (lingkungan hidup sebagai isu sosial; dan lingkungan pengambilan keputusan);
- Pendidikan kewirausahaan.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Virrankoski (1991) dikutip oleh Ahonen and Virta (1999: 230), sistem politik Finlandia bermakna sebagai kebebasan berbicara, demokrasi, hak pilih, kebebasan beragama, kesetaraan, sistem multi partai, sama di depan hukum, dan kemandirian.
Selain itu, aspek lingkungan adalah bidang yang penting dan menarik di kalangan kaum muda baik di Finlandia maupun di Eropa.
Kewarganegaraan dan Kurikulum Sekolah
1. IPS Sebagai Pengubah Identitas Nasional
Menurut Miller (1995:189), bahwa identitas nasional mendukung kewarganegaraan yang lebih dari patriotisme konstitusional. Artinya, Setiap negara memiliki identitas masing-masing yang dijadikan sebagai jati diri bangsa yang diambil dari nilai-nilai yang terdapat di negara tersebut yang harus dinjunjung dan dihormati sebagai jati diri bangsa serta indentitas nasional tidak terlepas dari perjalanan sejarah yang dialami oleh setiap negara.
Pendapat lain dikemukakan oleh Biesta (2011: 13), pembelajran PKn tidak semata-mata hanya membahas pada identitas nasinal, akan tetapi lebih pada membahas yang berkaitan dengan isu-isu publik sebagai perhatian bersama untuk menumbuhkan budaya partisispasi warga sebagai elemen penting dari kewarganegaraan demokratis.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa identitas nasional merupakan nilai-nilai budaya yang terdapat disuatu negara yang telah disepakati bersama sebagai ciri khas suatu negara yang harus dijunjung dan dilestarikan, serta identitas nasional memembantu mempertahankan hubungan kepercayaan dan solidaritas yang dibutuhkan untuk warga negara menerima hasil keputusan yang demokratis.
Menilai identitas nasional di Finlandia, Suutarinen (1996) dikutip Ahonen and Virta (1999: 232), menarik buku teks pelajaran yang berbeda sebagai pengubah kesadaran kolektif.
Meskipun mata pelajaran sekolah yang berbeda tetap mendekati identitas dari perspektif yang berbeda, akan tetapi masih memiliki titik kolektif dengan pandang yang sama.
Mata pelajaran geografi berfokus pada identitas regional, sementara buku-buku pelajaran sejarah juga menggunakan identitas nasional.
Tujuan ilmu sejarah dan ilmu sosial yaitu dengan menekankan penguatan identitas nasional. Pengajaran sejarah di tingkat nasional melihat identitas Finlandia sebagai negara, perubahan budaya dan ekonomi terkait dengan perkembangan negara.
Hal ini memiliki kesamaan pemahaman mengenai definisi indentitas nasional. Menurut Smith dikutip oleh Guibernau (2004: 134). menganggap identitas nasional sebagai multidimensi dan daftar lima atribut mendasar yaitu:
- a. Wilayah bersejarah atau tanah air.
- b. Mitos umum dan kenangan sejarah umum.
- c. Budaya umum masyarakat.
- d. Hak-hak hukum dan tugas untuk semua anggota.
- e. Ekonomi umum dengan mobilitas teritorial untuk anggota.
Metode yang digunakan untuk pembentukan identitas disajikan sebagai cerita hidup atau perjuangan untuk eksistensi. Melalui pedoman kurikulum yang diberlakukan saat ini lebih menekankan penguatan identitas siswa sebagai pertumbuhan Finlandia dan memberikan pemahaman tentang budaya lain.
Artinya, isu yang terkait dengan identitas budaya tidak menerima penekanan secara khusus, namun sebaliknya instruksi dari Swedia dan Sami berusaha untuk memperkuat identitas siswa dengan komunitas budaya masing-masing.
Dengan demikian, identitas etnis Finlandia telah diganti dengan identitas nasional berbasis negara. untuk mewujudkan identitas nasional Finlandia tersebut perlu menanamkan citra persatuan melalui buku-buku teks pelajaran sekolah yang sehubungan dengan pembentukan identitas.
2. Nilai-Nilai Demokrasi Sebagai Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Sistem demokrasi merupakan salah satu konsep yang menjujung tinggi adanya kebebasan, partisipasi warga sebagai anggota masyarakat demokratis menekankan isu-isu yang besar dari pada hanya ada dalam silabus sekolah yang membahas citra demokrasi yang disampaikan oleh guru melalui buku teks pelajaran yang diintegrasikan dalam silabus mata pelajaran ilmu sosial.
Membahas konsep demokrasi melalui mata pelajaran sejarah terkait dengan studi sosial ialah mata pelajaran sejarah membahas perkembangan demokrasi, dan ancaman untuk demokrasi (diktator).
Ulasan buku teks Finlandia untuk studi sosial yang ditulis secara konsisten yang mendefinisikan bahwa demokrasi sebagai sistem di mana kekuasaan milik rakyat, terminologi dasar ini didefinisikan secara minimal.
Pandangan lain menurut Patricia Bromley and Elina Makinent (2011: 46-47), adapun gagasan utama secara konseptual tentang implikasi pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan ialah,
- Pertama, pentingnya penekanan tentang multikulturalisme dan keragaman dalam masyarakat yang dibangun sebagai kebutuhan sosial.
- Kedua, penekanan Pendidikan Kewarganegaraan semakin didenasionalisasi dalam sejumlah cara.
Artinya, terdapat penekanan pada keragaman dan sentrisme siswa dalam Pendidikan Kewarganegaraan adalah bentuk globalisasi yang perlu didorong munculnya prinsip budayaglobal yang mengangkat status individu dan perlindungan hak-hak individu serta mempersiapkan siswa untuk hidup secara aktif.
Buku teks demokrasi disajikan sebagai nilai yang tidak terbantahkan dengan menggambarkan sistem demokrasi perwakilan beserta memberikan contoh kasus-kasus yang konkret di Finlandia.
Atribut yang melekat pada demokrasi yaitu berjuang untuk kesetaraan, keadilan, kebebasan berbicara, terbuka, dan melindungi hak-hak warga negara untuk mempengaruhi urusan publik, serta warga negara dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, sistem pemilu Finlandia mendapat perhatian di semua ulasan buku pelajaran yang menyebutkan secara singkat yang berkaitan dengan kebebasan berbicara atau kebebasan berkumpul.
Hal ini di dukung oleh pendapat Eyiuche and Lilian (2013: 96), mengemukakan secara ideal Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah berusaha mengajarkan keterampilan kepada peserta didik dan berupaya untuk melibatkan masyarakat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat sipil
Berdasarkan pendapat di atas secara konseptual pembelajaran demokrasi seperti yang dijelaskan dalam studi buku-buku teksmenjadi lebih beragam, ditunjukkan dari silabus sejarah untuk menangani pengaruh langsung dari tindakan warga yang membahas revolusi, kerusuhan, ataupun kudeta.
Selain itu, buku teks di Finlandia juga tetap memperhatikan hak-hak sipil sebagai dasarcuntuk demokrasi dan telah diatur dalam undang-undang Finlandia.
Akan tetapi terdapat permasalahan dalam hal ini yaitu kediktatorancdengan fitur-fitur seperti sentralisasi kekuasaan, penggunaan polisi, angkatan bersenjata untuk mendukung otokrasi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan warga kurang berpengaruh, merupakan gambaran kediktatoran yang negatif.
Menurut Figel (2005:23), tujuan utama dari Pendidikan Kewarganegaraan termasuk dalam kurikulum, seperti konsep-konsep seperti hak asasi manusia, keragaman budaya, toleransi, dan komitmen diberikan kepada siswa dengan harapan siswa dapat:
- Mengembangkan literasi politik (karena mereka belajar teori hak asasi manusia dan demokrasi, menjadi akrab dengan fungsi lembaga bagaimana politik dan sosial dan menghargai keragaman budaya dan sejarah, dll);
- Mengembangkan sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab (belajar diri dan menghormati orang lain, mendengarkan dan menyelesaikan konflik secara damai, memberikan kontribusi untuk koeksistensi yang harmonis antara orang-orang, mengembangkan nilai-nilai yang konsisten dengan masyarakat pluralis, membangun diri yang positif, dll).
- Merangsang partisipasi aktif dari siswa dengan memungkinkan mereka untuk terlibat dalam kehidupan sekolah dan masyarakat setempat, dan untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk memberikan kontribusi yang bertanggung jawab dan konstruktif penting untuk kehidupan publik. Siswa harus diberi kesempatan untuk bereksperimen praktis dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Puolimatka (1995) dikutip oleh Ahonen and Virta (1999: 240), menulis kemampuan tentang berpikir kritis untuk menganalisa informasi dan pengambilan keputusan.
Berpikir kritis merupakan keterampilan yang harus ditanamkan disemua warga negara agar dapat memberikan kontribusi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu, pentingnya menumbuhkan warga negara mampu perpartisispasi aktif dan mampu berperan aktif dalam keikutsertaan pengembilan keputusan, maka sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Menumbuhkan warga negara yang demokratis dapat dilakukakan dengan sistem pembelajaran di sekolah yang diintegrasikan melalui silabus mata pelajaran PPKn khususnya serta melalui sosialisasi nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
Pendidikan Kewarganegaraan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk berkorban membela bangsa, serta berfungsi untuk membina kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan nilai konstitusi yang berlaku.
Huang dan Chen (2013: 80), mengemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan komponen utama atau komponen penting dalam mengembangkan pendidikan holistik. Dengan kata lain Pendidikan Kewarganegaraan berusaha mengajarkan kepada peserta didik akan identitas individu, tujuan, makna hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, nilai-nilai spiritual, dan lingkungan alam.
Kerr, (1999: 15-16), mendefinisikan Pendidikan Kewarganegaraan dikonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan ialah sebagai berikut.
- Pendidikan Tentang Kewarganegaraan, berfokus pada penyediaan siswa dengan pengetahuan yang cukup dan pemahaman sejarah nasional dan struktur dan proses pemerintahan dan kehidupan politik;
- Pendidikan Melalui Kewarganegaraan, melibatkan siswa belajar dengan melakukan, melalui aktif, pengalaman partisipatif dalam komunitas sekolah atau lokal dan luar. pembelajaran ini memperkuat komponen pengetahuan;
- Pendidikan Untuk Kewarganegaraan, meliputi dua hal dan melibatkan siswa mulai dari pengetahuan, keterampilan, bakat, nilai-nilai dan sikap yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dan bijaksana dalam peran dan tanggung jawab yang mereka hadapi dalam kehidupan. Artinya menghubungkan Pendidikan Kewarganegaraan dengan pengalaman pendidikan seluruh siswa.
Berdasarkan pendapat di atas dapat didiskripsikan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan Finlandia menekankan pada bagaimana menumbuhkan warga negara yang demokratis dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat melalui isu-isu yang terjadi, sehingga pembelajaran yang diberikan tidak semata-mata sebagai indoktrinasi.
Hal ini didukung pendapat Yi-Shan Chen (2011), mengemukakan bahwa selain guru yang berkualitas, keberhasilan Pendidikan Kewarganegaraan dan kewarganegaraan Finlandia sebagian besar merupakan hasil refleksi dari nilai-nilai sosial yang dominan.
Seperti negara-negara Eropa utara lainnya, Finlandia selalu menekankan pentingnya hak asasi manusia, kesetaraan, transparansi dan mobilitas sosial.
Jika ajaran fundamental dari masyarakat adalah persaingan yang kejam, maka diperlukan mengajar siswa untuk mencintai, bermurah hati, dan bekerja sama melalui program Pendidikan Kewarganegaraan.
Hasil survei di Eropa mengenai kesadaran kaum muda tentang sejarah mengungkapkan kaum muda Finlandia berpandangan lain dari kaum muda Eropa.
Kaum muda Finlandia sangat menyadari terdapat kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan alam tetapi kaum muda Finlandia lebih mempertahankan nilai-nilai lingkungan dikarenakan mereka sendiri prihatin tentang lingkungan dan polusi. Angvik & von Borries, (1997) dikutip oleh Ahonen and Virta (1999: 246).
3. Media Pendidikan Kewarganegaraan
Media pendidikan dianggap sebagai kunci Pendidikan Kewarganegaraan. Artinya, media yang digunakan sekolah bersifat komprehensif yang bertujuan membentuk berfikir kritis di kalangan muda.
Melalui pendidikan siswa diharapkan memiliki kesempatan untuk berfikir analitis, sistematis, dan dapat berkontribusi dalam pengambilan keputusan.
Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lagi melihat siswa sebagai penerima yang pasif tetapi sebagai komunikator dengan peran aktif.
Melalui pendidikan dapat merubah struktur sosial seiring dengan perkembangan teknologi, dalam hal ini media dipandang sebagai sumber yang berguna dan dapat diandalkan sebagai sumber informasi.
Melihat tujuan sekolah yang komprehensif adalah untuk mengembangkan sikap dan kemampuan siswa berfungsi sebagai anggota yang aktif, kritis, dan bertanggung.
Oleh karena itu, para siswa harus diberi kesempatan untuk berlatih berpartisipasi dan mengerahkan pengaruh yang terkait dengan isuisu di masyarakat, Framework Curriculum for the Comprehensive Schoo, (1994), dikutip Ahonen and Virta (1999: 249).
Pendidik memiliki tanggung jawab yang besar untuk menumbuhkan kreatifitas dan menumbuhkan partisipasi peserta didik pada kegiatan pembelajaran serta pendidik dituntut untuk menggunkan media pembelajaran yang inovatif agar materi yang di sampaikan dengan jelas diterima oleh peserta didik, disamping itu mampu mengajar di luar kelas tidak hanya di dalam kelas dengan mengajak peserta didik mengekplorasi pengetahuan secara langsung di luar kelas ketika materi pembelajaran berkaitan dengan lingkungan.
Jadi, dalam hal ini peserta didik tidak semata-mata belajar teori namun terjun ke lapangan untuk membuka wawasan dan mendapatkan pengetahuan, pengalaman secara langsung.
Selain itu, pendidik diminta untuk memberikan penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan setiap individu peserta didik.
Berdasarkan paparan di atas pendidik dituntut memliki kompetensi dalam melakukan kegiatan pembelajaran disekolah, adapun kompetensi pendidik untuk Pendidikan Kewarganegaraan demokratis menurut (Audigier, 2000), dikutip oleh Maria-Helena C. Salema (2012: 85), mengemukakan bahwa pendidik harus mengembangkan kompetensi kognitif, etika dan sosial, adapun penjelasannya kompetensi tersebut adalah sebagai berikut.
- Kompetensi kognitif berhubungan dengan pengetahuan, berpikir analisis, seperti kemampuan untuk berdebat, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan argumen tentang prinsip-prinsip, nilai-nilai hak asasi manusia serta kewarganegaraan demokratis.
- Kompetensi etika diartikan sebagai membangun diri sendiri yang hubungan dengan orang lain sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Seperti nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan solidaritas. Menyiratkan pengakuan dan penghormatan dari diri sendiri kepada orang lain dan menerima perbedaan dan keragaman serta menghormati kepercayaan yang lain.
- Kompetensi sosial mencakup kemampuan untuk hidup dengan orang lain, bekerja sama, membangun dan melaksanakan proyek-proyek bersama, mengambil tanggung jawab dan kapasitas untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan prinsipprinsip hukum yang demokratis dan menyelesaikan konflik dengan mediasi- memanggil orang ketiga yang tidak terlibat dalam konflik, debat terbuka, mediasi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat didiskripsikan bahwa konsep Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia sangat menekankan untuk berpartisispasi aktif dan memiliki keterampilan berpikir kritis, sistematis.
Guru PKn Finlandia dituntut untuk mengembangkan kompetensi pedagogik dan mampu menumbuhkan sistem pembelajaran yang menyenangkan melalui pendekatan-pendekatan yang efektif serta mengembangkan model-model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan secara demokratis.
Kesimpulan
Kunci sukses pendidikan di Finlandia ialah semua warga negara memiliki hak yang sama brkesempatan untuk mengenyam pendidikan, setelah itu pemerintah Finlandia juga mewajibkan penduduknya untuk mengembangkan potensi diri melalui kegiatan-kegiatan atau pelatihan yang di adakan oleh pemerintah Finlandia.
Dalam peraturan perundang-undangan Finlandia semua wajib memberikan hak atas pendidikan dan sebagian besar kualifikasi pendidikan telah bebas biaya untuk para siswa, termasuk pendidikan pascasarjana di universitas.
Kebijakan pendidikan Finlandia menekankan pada kualitas, efisiensi, keadilan, dan internasionalisasi. Pendidikan merupakan faktor utama untuk dapat bertahan dan mampu bersaing dengan negara-negara lain agar tidak tertinggal disegala aspek.
Oleh karena itu, meningkatkan kualitas pendidikan adalah faktor utama dengan mengembangkan kompetensi di kalangan penduduk secara efisien dan memperbesar kesempatan warga negara untuk belajar.
Hal senada dikemukakan oleh Figel (2005: 55), program pengembangan pelatihan guru pelayanan di diluncurkan oleh Kementrian Pendidikan tahun 2001 meliputi perolehan keterampilan yang relevan dengan partisipasi dalam kerjasama internasional dan hubungan multikultural.
Tujuan pendidikan di Finlandia dapat dikatakan sebagai pembentukan warga negara yang baik melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, tujuan dari Pendidikan Kewaraganegaraan Finlandia adalah menumbuhkan keterampilan warga negara berupa tindakan dan kesadaran.
Hal ini telah diatur dalam pedoman kurikulum pendidikan Finlandia yang menyoroti atau menekankan nilai-nilai etika sosial. Selain itu, kurikulum yang diterapkan saat ini menjadi jauh lebih fleksibel dengan harapan peserta didik dapat melanjutkan studi dengan langkah yang lebih luas.
Selain itu, lintas-kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan tersebar disetiap silabus dari beberapa mata pelajaran. Artinya, secara garis besar merupakan tugas dari sistem sekolah keseluruhan seiring dengan perkembangan kepribadian siswa.
Kurikulum sekolah yang komprehensif tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan juga keterampilan sosial, kepekaan estetis, observasi, dan etika.
Sebagai masyarakat yang demokratis unsur yang paling signifikan adalah membekali keterampilan sosial dan membangun kemampuan peserta didik yang merupakan bagian penyelenggara aktif struktur pengetahuan dan konsepsi dunia.
Upaya untuk menumbuhkan partisipasi warga sebagai anggota masyarakat yang demokratis, pendidik melalui kegiatan pembelajaran lebih menekankan isu-isu besar dari pada hanya membahas citra demokrasi yang disampaikan dalam buku pelajaran dan silabus untuk studi sosial.
Membahas konsep demokrasi melalui pelajaran sejarah yang terkait dengan studi sosial ialah sejarah membahas perkembangan demokrasi, alternatif, dan ancaman untuk demokrasi.
Selain itu, membahas masalah-masalah lintas kurikuler ialah tentang kesetaraan dan internasionalisasi disertai dengan sentuhan konsep demokrasi. Buku teks Finlandia pada studi sosial ditulis secara konsisten dengan mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem di mana kekuasaan milik rakyat.
Buku teks demokrasi disajikan sebagai nilai yang menggambarkansistem demokrasi perwakilan beserta memberikan contoh kasus yang konkret dalam pelaksanaan demokrasi di Finlandia. Misalnya, berjuang untuk kesetaraan, keadilan, kebebasan berbicara, terbuka, dan pengambilan keputusan, serta melindungi hak warga negara serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Sistem pemilu Finlandia mendapat perhatian disemua ulasan buku pelajaran yang ada disekolah, akan tetapi hanyadisebutkan secara singkat yang berkaitan dengan kebebasan berbicara atau kebebasan berkumpul.
Hal ini didukung pendapat dari Beetham (1998: 21), mengemukakan bahwa demokrasi dapat diidentifikasi dari seperangkat institusi dan praktik dalam masyarakat, sehingga nilai-nilai dalam demokrasi dapat diwujudkan.
Menjunjung tinggi hak asasi manusia yang merupakan dari cerminan nilai-nilai demokrasi yang harus dihormati.
Model pembelajaran yang digunakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan adalah metode yang inovatif dan komprehensif dengan tujuan untuk menumbuhkan siswa aktif dan berfikir kritis dikalangan muda, misalnya debat publik, pekerjaan proyek, kolaborasi atau tim belajar, mengikuti media, wawancara dan kunjungan ahli.
Melalui pendidikan peserta didik memiliki kesempatan untuk berpikir analitis dan memiliki pengaruh dalam pelaksanaan demokrasi di Finlandia.
Media pendidikan juga dapat berubah seiring dengan perkembangan teknologi, dalam hal ini media dipandang sebagai sumber yang berguna sebagai sumber informasi. Oleh karena itu, semua peserta didik harus diberi kesempatan untuk berlatih berpartisipasi dan mengerahkan pengaruh yang terkait dengan isu-isu di masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, jika dikomparasikan dengan teori paradigma baru Pendidikan Kewarganegaraan, maka implementasi Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia termasuk dalam paradigma Pendidikan Kewarganegaraan civic skills terlihat bahwa penerapan Pendidikan Kewarganegaraan yang ditekankan di sekolah ialah bagaimana peserta didik mampu ikut serta dalam berpartisipasi sebagai warga negara aktif serta membekali keterampilan berpikir kritis, analisis melalui metode debat maupun proyek sebagai tugas di dalam kelas maupun di luar kelas yang harus diselesaikan oleh peserta didik.
Artinya, keterampilan kewarganegaraan merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan Pendidikan Kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna.
Posting Komentar untuk "Mengenal Sistem Pendidikan Kewarganegaraan di Finlandia"